1. SOLIDARITAS
DAN KERUKUNAN
Gejala solidaritas ini tidak hanya terlihat
pada kalangan kerabat,tetapi juga pada kalangan yang lebih luas lagi yang
meliputi : wagra serukuntetangga,sekampung,sekecamatan,atau di luar Minahasa.
Variasi
mapalus sebagai suatu pranata sosial tradisional yang penting adalah sanagat
besar. Mapulus dalam arti yang umum seperti yang terdapat disebutkan sebagai
suatu bentuk kerja sama atau bantuan-membantuan dari sejumlah orang sekampung. Kelompok
mapulus dapat dibentuk berdasarkan pada kepentingan bersama oleh sejumlah
individu yang bersedia bekerja sama atas dasar prinsip resiprositas yang dalam
pelaksanaanya terorganisasi sebagai kegiaatan dalam bentuk
perkumpulan-perkumpulan. Dahulu pranata mapulus banyak ditunjukkan pada saling
bantu membantu dalam pekerjaan-pekerjaan pertanian dari suatu kelompok yang
berjumlah sekitar 20 orang, dengan prinsip timbale balik ( disebut juga ma’ando
). Bentuk-bentuk dari mapalus mendirikan rumah atau mengganti atap rumah, dan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kedudukan ,namun mapalus untuk
pekerjaan-pekerjaaan pertanian adalah yang paling penting menonjol dan penting
bagi masyarakat desa di Minahasa pada masa lampau. Mapulus dalam arti yang umum
seperti yang terdapat disebutkan sebagai suatu bentuk kerja sama atau
bantuan-membantuan dari sejumlah orang sekampung.
Kerukunan suatu kesadaran akan kesatuan
tempat asal seperti sekampung, dan sekecamatan yang terwujud dalam berbagai
bentuk perkelompokan social seperti perkumpulan-perkumpulan,
persatuan-persatuan, dan sebagainya.kerukunan yang telah mencakup wilayah
kecamatan atau wilayah distrik disebub pakasa’an .
Pakasa’an
ialah wilayah kesatuan adat yang sama dengan apa yang dahulu juga disebut
walak,yang kemudian oleh pemerintah belanda disebut wilayah administrasi yang
disebut distrik.
2. RELIGI PRIBUMI
Unsur-unsur kepercayaan pribumi
yang dapat disaksikan pada orang Minahasa, yang sekarang secara resmi telah
memeluk agama Protestan, Katolik, maupun islam, merupakan peninggalan sistem
religi jaman dahulu sebelum berkembangnya agama kristen. Unsur religi terlihat
dalam beberapa upacara adat yang dilakukan oleh orang berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa sekitar lingkaran hudup individu, seperti : masa hamil,
kelahiran, perkawinan, kematian maupun dala bentuk-bentuk pemberian kekuatan
gaib (sakti) dalam menghadapi berbagai jenis bahaya yang dapat menimpa
seseorang maupun seluruh rumah tangga, serta yang berhubungan dengan pekerjaan
–pekerjaan mata pencaharian.
Dalam mitologi orang Minahasa sistem
kepercayaan dahulu mengenal banyak dewa. Dewa oleh penduduk disebut empung atau
jugga opo, dan dewa yang tertinggi disebut opowailan wangko. Dewa yang penting
sesudah dewa tertinggi tersebut adalah karema.Opo wailan wongko, dianggap pencipta
seluruh alam dan segala isinya, yang dikenal oleh manusia yang memujanya.
Karema yang mewujudkan diri sebagai manusia adalah sebagai petunjuk jalan bagi
lumimuut (seorang wanita sebagai manusia pertama) untuk mendapatkan keturunan
seorang pria yang bernama toar. Toar juga dianggap sebagai pembawa adat
khususnya cara-cara pertanian, dia berperan sebagai cultural hero (dewa pembawa
adat).Roh leluhur juga disebut opo, atau sering disebut dotu, yang pada masa
hidupnya adalah seorang yang dianggap sakti dan juga sebagai pahlawan.
Kepercayaan bahwa ada bagian-bagian tubuh
yang mempunyai kekuatan sakti ada juga pada orang Minahasa, seperti rambut dan
kuku. Juga binatang-binatang yang mempunyai kekuatan sakti adalah seperti ular
hitam dan beberapa jenis burung terutama burung hantu (manguni). Dan untuk
tumbuh-tumbuhan adalah seperti tawa’ang, goraka (jahe), balacari, jeruk
suangi,dan lain-lain. Gejala-gejala alam seperti gunung meletus, hujan lebat
bersama petir yang terus-menerus dianggap sebagai perwujudan akan amarah para
dewa. Alat-alat senjata yang juga dianggap mempunyai kekuatan sakti yang harus
dijaga dengan baik adalah seperti : keris, santi (pedang panjang), lawang
(tombak), dan kelung (perisai). Ucapan yang beruapa sumpahan dan kutukkan jug
adikenal sebagai kata-kata yang dapata mengakibatkan malapetaka, apalagi kalau
yang mengucapkan nya adalah orang tua, karena kata-kata dianggap mempunyai
kekuatan sakti. Bendajimat abik yang diwariskan oleh orang tua nmaupun yang
dapat dari walian atau tona’as disebut paeretan, adalah sebagai benda-benda
yang kesaktiannya dipercayai, yang sampai saat sekarang banyak dipakai.
Tempat upacara keagamaan pribumi biasanya
dilakukan pada malam hari di rumah tona’as atau di rumah orang tain. Juga dapat
dilakukan pada tempat-tempat lain yang dianggap keramat, seperti pada kuburan
opo-opo, batu-batu besar, dan di bawah pohon besar. Pada saaat-saat tertentu
yang dianggap penting uapacara dilakukan di watu pinabetengan, tempat dimana
secara mitologis adalah yang paling keramat di Minahasa (di dekat kampong
pinabetengan, Minahasa Tengah). Upacara yang dilakukan di tempat ini adalah
upacara untuk mendapatkan kesaktian dari opo-opo untuk tujuan-tujuan tertentu
yang dianggap baik melalui medium tona’as. Tokoh tradisional yang melakukan dan
memimpin upacara-upacara keagamaan pribumi sepert apa yang dikenal dahulu
walian. Pemimpin upacara ini dapat dipegang oleh seorang wanita maupun oleh
pria.
Sistem kedukunan, yang terpusat pada peran
dukun (tou ma’undam) pana orang Minahasa terbagi dalam beberapa spesialis
1. Dukun
biyang : yaitu yang melakukan perawatan kesehatan pada ibu hamil, persalinan,
dan pascasalin bagi ibu dan bayi.
2. Tukang
mawi : yaitu orang yang dapat menunjukan siapa yang mencuri barang seseorang.
3. Madiara
atau pandoti : yaitu orang yang dapat mencelakakan orang lain dengan guna-guna
atau fui-fui.
4. Tu’a
: yaitu orang tua yang berpengetahuan dan yang arif dan bikjaksana di desa
biasanya melakukan pekerjaan yang baik-baik seperti menyembuhkan orang sakit,
mengusir roh-roh jahat sebelum memasuki rumah baru.
3. ORIENTASI KOGNITIF
DANMASALAH KEMAJUAN
Dalam setiap sistem budaya
komponen-komponen kognitif pengetahuan dan kepercayaan (keagamaan maupun non
keagamaan) yang antara lain terwujud sebagai premise-premisi moral dan nilai
yang membentuk dan mengatur perilaku anggota-anggota masyarakat yang
bersangkutan.
Hakekat individu dalam kesatuan
kemasyarakatan. Orentasi nila budaya Minahasa yaitu konsepsi si tou timou timou
tou, yang artinya seorang manusia menjadi manusia dalam perananannya
menghidupkan manusia lain. Kosepsi ini diberi tafsir oleh tilar dengan
mengemukakan bahwa peran seorang (tou) ialah “menjadi manusia”, manusia adalah
being bukan given serta mempunyai potensi untuk berkembang (timou) namun ia
bertanggung jawab untuk menghidupkan (tumou) orang lain. Manusia harus dapat
mengembangkan potensi atau kualitasnya untuk dapat mempunyai arti atau peran
dalam masyarakat. Inilah akar motivasi maju dari orang Minahasa (Tillar
1985:12).
Premis budaya dapat dihubungkan
dengan azas kesamaan social sebagai manusia yaitu, bahwa semua orang memiliki
hak dan kewajiban yang sama dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup dalam
masyarakat. Seseorang (pria dan wanita) yang berhasil memperoleh kedudukan yang
lebih tinggi dari pada orang lain adalah merupakan hasil usahanya, prestasinya,
bukan karena keturunan. Adalah gejala umum di Minahasa sejak masa penjajahan
bahwa orang-orang tua dari pejabat-pejabat terpandang justru tergolong rakyat
biasa atau pegawai bawahan. Selain itu premise budaya egalitarianism tersebut
menunjukan pula sisi lain, yaitu azas resiprositas yang terwujud
gagasan-gagasan persatuan (maesa-esa’an), ikatan batin (magenang-genangan,
mailek-ilekan), dan kerjasama (masawang-sawangan). Gagasan ini merupakan usaha
yang secara konkrit dapat dilihat pada tingkat kelompok kekerabatan dan
komunitas pedesaan.
Persepsi waktu dalam hidup. Bagi
orang Minahasa makna kehidupan masa kini dan masa depan adalah sama penting.
Kehidupan ”masa kini” diartikan sebagai suatu fase kehidupan seseorang yang
tidak terlepas dari perannya dalam menjalankan pekerjaan mata pencaharian hidup
tertentu dalam suatu persepsi wakru tertentu. Sebagian dari persepsi waktu ini
adalah “masa kemudian”, waktu yang akan datang, selama pekerjaaan itu, yang
sudah dijalankan sejak saat tertentu pada waktu lampau, akan terus
dilaksanakan.
Suatu perolehan berkat dan
upacaranya bukan hanya bermakna keagamaan tetapi juga hubungan kemasyarakatan.
Upacara ini merupakan pesta yang bermakna kaipian, yaitu pemeberian
penghormatan kepada tamu untuk mencicipi makanan sebagai simbol, berkat, hasil
upaya, yang besangkutan. Premisnya adalah bahwa suatu berkat yang diperoleh
seseorang sepatutnya turut dirasakan pula oleh orang-orang lain, upaacara ini
dilakukan secara terbuka supaya orang lain dapat menyaksikan kenyataan bahwa
yang berupaya secara jujur dan seswuai dengan kehendak (anugerah) tuhan danpat
berhasil, dan menunjukan bahwa masa depan bagi orang-orang yang berupaya keras
adalah terbuka, tidak suram.aspek hubungan masyarakat lainnya dalah fungsi
resiprositas. Orientasi nilai masa depan yang jelas adalah berhubungan dengan
persepsi orang-orang tua terhadap tujuan pendidikan formal bagi anak-anak
mereka.
Persepsi kerja dan hidup.persepsi
kerja dikalangan orang Minahasa sangan dipengaruhi oleh suatu premisi budaya
petani bahwa orang hidup untuk kerja (secara fisik) dan ini harus dilaksanakan
secara sungguh-sungguh supaya berhasil. Kerja merupakan dasar untuk dapat hidup
lebih lanjut, kerja keras yang disertai doa untuk mendapatkan berkat dari
tuhan. Kegagalan menuntut intropeksi diri untuk menyadari kesalahan apa yang
telah diperbuat dari segi adikodrat dan sosial. Orang yang berhasil, disertai
dengan kepribadian yang baik dianggap memeiliki pula “manfaat sosial”.
Prestasinya dianggap mengangkat nama kelompok kekerabatan (famili) yang
bersangkutan.
Dihubungkan dengan hakekat hidup
manusia, bekerja dan berprestasi tetapi dalam bimbingan, kuasa, dan berkat
tuhan, merupakan kewajiban yang mengisi hidup di dunia. Hidup adalah berkat,
bukan penderitaan, tetapi bukan milik orang-orang malas dan orang-orang yang
menolak kewajiban-kewajiban untuk tomou toa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar